Renungan Kritis Terhadap Epikurianisme
“Memang ibadah itu kalau disertai rasa
cukup, memberi keuntungan besar”. 1 Tim 6:6
Epikurianisme adalah sebuah aliran filsafat
yang berkembang sekitar abad ke-4 SM. Pendiri utamanya adalah Epicurus (341–270
SM), seorang filsuf Yunani kuno. Epicurus mengajarkan bahwa tujuan utama
manusia adalah mencapai kebahagiaan melalui kesenangan sejati (ataraxia =
ketenangan jiwa) dan bebas dari rasa takut serta penderitaan.
Bagi Epicurus, kesenangan bukan berarti pesta
pora atau kemewahan berlebihan, melainkan hidup sederhana, penuh persahabatan,
serta menghindari kecemasan, terutama rasa takut kepada para dewa dan kematian.
Ia menekankan bahwa sumber penderitaan manusia adalah ketakutan seperti; takut
mati, takut menderita dan takut kehilangan. Maka, manusia baru bisa di katakan bahagia
bila ia hidup dengan sederhana dan tanpa ketakutan.
Bayangkan seseorang yang lebih bahagia minum
teh hangat bersama teman di halaman rumah daripada harus mengikuti pesta besar
yang penuh persaingan, gosip, kesombongan dan kekhawatiran tentang status
sosial. Menurut Epikurianisme, kesenangan kecil yang sederhana justru lebih
bernilai daripada kemewahan yang penuh beban.
Secara kajian filsafat, aliran ini berusaha
mengoreksi Hedonisme murni (yang mengejar kesenangan jasmani tanpa batas).
Epicurus menyadari bahwa kenikmatan indrawi itu fana dan justru bisa membawa
penderitaan baru. Karena itu, ia membedakan antara kesenangan jangka pendek
(sensual) dan kesenangan jangka panjang (ketenangan batin). Memang kalau
dipikir-pikir, Epikurianisme terlihat lebih rasional daripada Hedonisme, sebab
menekankan hidup sederhana dan tidak terikat pada hawa nafsu. Namun, aliran ini tetap mendasarkan
kebahagiaan manusia pada sesuatu yang rapu, seperti yang sering saya katakan
yakni; logika manusia semata, bukan pada Allah yang kekal.
Sebagai orang Kristen, kita bisa saja menghargai
bahwa ada nilai positif dalam Epikurianisme, misalnya ajakan untuk hidup
sederhana dan tidak dikuasai oleh nafsu dunia. Bahkan Alkitab sendiri mengajarkan
untuk hidup cukup. 1 Timotius 6:6 berkata “Memang
ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar”. Namun, ada
kelemahan besar yakni Epicurus mengajarkan bahwa takut mati itu harus
dihapuskan dengan logika, bahwa setelah mati, jiwa hilang begitu saja, sehingga
tak ada yang perlu ditakuti. Inilah letak kekeliruannya! Sehingga kemudian
orang membangun konsep bahwa hidup saja sederhana, karena jiwa ini akan lenyap.
Tiada arti!
Nah, bagi iman Kristen kematian bukanlah
akhir, tetapi pintu menuju kekekalan. Kematian adalah jalan menuju Allah yang
kekal itu! Firman Tuhan berkata: “Karena
upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita” (Roma 6:23). Lalu Rasul Yohanes berkata bahwa “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup,
dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10).
Dengan demikian, rasa takut mati tidak bisa
dihapuskan dengan filsafat manusia, melainkan hanya dengan iman kepada Yesus
Kristus yang sudah mengalahkan maut (1 Korintus 15:55-57). Tujuan akhir dari
kehidupan kita ini bukanlah ketiadaan, melainkan kehidupan yang kekal tanpa
batas, bersama Allah. Memuji Allah dalam kerajaan surga-Nya.
Epikurianisme menawarkan ketenangan melalui
kesederhanaan hidup, namun gagal memberikan jawaban sejati bagi ketakutan
terbesar manusia, yaitu kematian. Hanya Yesus Kristus yang bisa memberikan
damai sejahtera sejati (Filipi 4:7) dan pengharapan kekal yang melampaui logika
manusia. Sehingga inilah yang menjadi dasar utama mengapa dalam hidup ini kita
perlu hidup bersahaja dan sederhana. Karena kita tahu bahwa tujuan akhir hidup
kita ialah surga yang baka, bukan dunia ini.
Maka, janganlah kita mencari kebahagiaan hanya
dengan akal dan kesederhanaan manusiawi, tetapi temukanlah kebahagiaan sejati
di dalam Tuhan yang hidup. Amin. Tuhan Yesus memberkati!
(Pdt.
Theos M. Purba)

Posting Komentar