Renungan Kritis Terhadap Pragmatisme
“Kuduskanlah
mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” Yoh 17:17
Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang
berkembang pada abad ke-19, terutama melalui tokoh William James dan John Dewey
di Amerika. Paham ini menekankan bahwa
kebenaran ditentukan oleh manfaat praktisnya. Sesuatu dianggap benar bila
terbukti memberi hasil yang berguna dalam kehidupan nyata, bukan sekadar teori.
Bagaimanakah contoh praktis dari pemahaman pragmatisme
ini? Dalam dunia pendidikan: metode belajar dianggap benar jika membuat siswa
cepat paham, meski tidak sesuai dengan cara yang semestinya. Dalam bisnis:
sebuah keputusan dianggap benar jika menghasilkan keuntungan, meskipun mungkin
caranya tidak jujur. Dalam hidup sehari-hari: seseorang memilih agama atau
kepercayaan bukan karena diyakini benar, tetapi karena merasa lebih tenang atau
lebih menguntungkan bagi dirinya. Dia mendapatkan dukungan dan jaringan.
Sekarang, coba kita melihat lebih dalam lagi,
mengapa paham ini keliru? Sekilas, pragmatisme tampak positif karena menekankan
hasil nyata. Namun, persoalannya adalah standar kebenaran diturunkan menjadi
semata-mata manfaat praktis. Padahal, sesuatu bisa saja berguna sementara tetap
keliru secara moral dan rohani. Itu mengapa tidak heran jika sampai saat ini kita
melihat tindakan korupsi dan sogok menyogok terjadi dimana-mana, karena tindakan
itu seperti dibenarkan karena tujuannya untuk memperlancar urusan “yang katanya
demi kebaikan bersama”.
Alkitab menegaskan bahwa kebenaran bukan
diukur dari hasil, tetapi dari firman Allah sendiri. Yesus berkata: “Firman-Mu adalah kebenaran” (Yohanes
17:17). Artinya, ukuran benar atau salah bukanlah hasil praktis, melainkan
kehendak Allah yang tertulis dalam Kitab Suci. Contoh adalah seperti; mencuri
mungkin memberi keuntungan cepat, tapi tetap salah di hadapan Allah (Keluaran
20:15). Berbohong mungkin menyelamatkan diri sejenak, tapi merusak integritas
rohani (Efesus 4:25). Menolak Kristus mungkin membuat hidup terasa “tenang” di
dunia, tetapi akhirnya berujung kebinasaan (Matius 7:21-23).
Sebagai orang percaya, kita perlu berhati-hati
agar tidak menjadi pragmatis dalam hidup iman. Jangan hanya bertanya: “Apakah
ini berguna bagi saya?” tetapi tanyakan: “Apakah ini berkenan di hadapan
Tuhan?” Terlebih dahulu memikirkan apakah ini memuliakan Tuhan atau tidak!
Paulus berkata: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi tidak semuanya berguna. Segala
sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu
apa pun.” (1 Korintus 6:12). Jadi, ukuran hidup kita bukan sekadar manfaat
praktis, melainkan kerinduan kita untuk nama Allah dimuliakan dalam setiap
tindak tanduk kita sehari-hari sebagai umat-Nya.
Lagipula, jika orang Kristen hidup dengan konsep
pragmatisme maka orang tersebut akan selalu menilai Tuhan secara pragmatis.
Biasanya, orang seperti ini lekas kecewa kepada sesama dan kepada Tuhan.
Cenderung menyalahkan orang lain bahkan dirinya sendiri. Jika apa yang menjadi
tujuannya tidak tercapai, ia akan gusar sepanjang hari. Lalu menilai Tuhan
dengan cara yang salah. Karena matanya selalu tertuju kepada hal-hal yang
praktis. Padahal Allah sanggup mengubah yang praktis itu hanya dalam hitungan
detik.
Pragmatisme mengajarkan bahwa kebenaran
ditentukan oleh hasil. Tetapi iman Kristen menegaskan bahwa kebenaran sejati
adalah firman Allah yang kekal. Marilah kita tetap berpegang pada Kristus
sebagai jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14:6). Amin. Tuhan memberkati.
(Pdt.
Theos M. Purba)
