Renungan Kritis Terhadap Absurdisme
“…
Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan”. Yohanes 10:10
Absurdisme adalah aliran filsafat yang
berkembang di abad ke-20, terutama melalui Albert Camus (1913–1960), seorang
filsuf sekaligus penulis asal Perancis. Tokoh lain yang sering dikaitkan dengan
pandangan serupa adalah SΓΈren Kierkegaard, meskipun Kierkegaard sendiri
menekankan iman Kristen sebagai jawaban atas absurditas hidup.
Inti dari absurdisme adalah: hidup manusia
pada dasarnya tidak masuk akal (absurd), sebab kita selalu mencari makna dalam
dunia yang tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Namun meskipun sadar hidup
ini absurd, manusia tetap didorong untuk melanjutkan hidup dan berusaha menemukan
makna. Walaupun harus terpaksa melakukannya, mereka harus lakukan karena tiada
pilihan lain. Cenderung pesimistis melihat semua yang ada di dalam dunia ini!
Agar lebih mudah difahami, mari kita melihat
bagaimana contoh sederhana faham ini; Seseorang tetap bekerja keras setiap
hari, meskipun sadar pada akhirnya semua akan berakhir dengan kematian. Seorang
seniman terus berkarya, walau tahu karyanya bisa hilang atau dilupakan seiring
waktu. Orang tetap membangun keluarga dan mengasuh anak, meskipun sadar suatu
saat semua akan berpisah karena kematian. Seorang ilmuwan meneliti demi
kemajuan, walaupun tahu bahwa ilmu pengetahuan pun terbatas dan tidak bisa
menyelamatkan manusia dari kefanaan.
Absurdisme memang jujur dalam melihat realita
bahwa hidup manusia terbatas, rapuh, dan penuh ketidakpastian. Namun, aliran
ini gagal memberikan jawaban sejati. Camus hanya berkata kita harus “berdamai
dengan absurditas” dan tetap berjuang, tetapi itu hanya menghasilkan ketegaran
kosong tanpa harapan kekal. Hanya berusaha kuat, sementara tidak tahu dari mana
sumber kekuatan itu. Dipaksa untuk menerima tanpa tahu tujuan akhir dari
semuanya. Wah, saya pribadi tidak mau ah… menjalani hidup seperti ini! Apakah
anda mau?
Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa hidup
memang sia-sia tanpa Allah: “Kesia-siaan
belaka, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2).
Tetapi berbeda dengan Camus, firman Tuhan tidak berhenti pada kesia-siaan.
Justru di dalam Kristus, Allah memberi makna hidup yang sejati. Yesus berkata:
“Akulah kebangkitan dan hidup;
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati”
(Yohanes 11:25). Artinya, absurditas dunia ini hanya bisa diatasi oleh iman
kepada Kristus yang memberi pengharapan melampaui kematian.
Sebagai orang percaya, kita tidak boleh hidup
dalam keputusasaan ala absurdisme. Hidup memang singkat, tetapi di dalam
Kristus, hidup kita bernilai kekal. Paulus menegaskan: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”
(Filipi 1:21).
Oleh karena itu; jangan melihat hidup sebagai
sia-sia, melainkan sebagai kesempatan melayani Tuhan. Jangan putus asa
menghadapi kefanaan, sebab ada janji kebangkitan. Jangan mencari makna hanya
dalam usaha manusia, melainkan dalam Allah yang kekal. Bukankah Allah turut
bekerja dalam segala sesuatu! (Rom 8:28) Jika ya, berarti dalam setiap waktu
yang kita lalui ada Allah di sana. Dia turut dan tidak diam. Bahkan, Allah
merancang sedemikian rupa agar hari-hari yang kita lalui itu berjalan seturut
kehendak-Nya yang mulia.
Absurdisme berkata hidup tidak masuk akal,
tetapi Injil berkata hidup ini berharga karena Kristus sudah menebus kita. Bahkan,
saya pribadi rindu hidup ‘1000’ tahun lagi, andaikan bisa! Hanya dengan satu
tujuan, yaitu melayani Allah ku. Masih banyak jiwa yang hendak di jangkau
dengan Injil Kristus. Di dalam Dia, hidup bukan sekadar perjuangan kosong,
melainkan perjalanan penuh pengharapan menuju kekekalan.
Amin. Tuhan memberkati.
(Pdt. Theos M. Purba)
