ZMedia Purwodadi

Renungan Kritis Terhadap Rasionalisme

Table of Contents

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” Amsal 3:5

Rasionalisme adalah sebuah aliran filsafat yang menekankan bahwa akal budi atau rasio adalah sumber utama pengetahuan. Aliran Rasionalisme ini lahir pada abad ke-17 di Eropa, terutama lewat tokoh René Descartes (1596–1650) yang dianggap sebagai “Bapak Rasionalisme Modern”. Bagi tokoh-tokoh seperti Rene Descartes dan Baruch Spinoza, kebenaran sejati tidak terutama ditemukan melalui pengalaman hidup atau panca indera, tetapi melalui pemikiran logis dan deduktif. Dengan kata lain, manusia dianggap mampu menemukan kepastian kebenaran hanya dengan berpikir secara benar. Rane Descartes dikenal dengan ungkapan terkenalnya yaitu “Cogito ergo sum” (“Aku berpikir, maka aku ada”). Keberadaannya ditentukan oleh berpikirnya.

Bagi seorang rasionalis, rasio adalah “cahaya” yang paling murni dalam mencari kebenaran. Karena itu, aliran ini seringkali mengabaikan wahyu ilahi, iman, bahkan pengalaman rohani, sebab dianggap tidak rasional dan tidak bisa dibuktikan dengan logika semata.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat pola pikir ini dalam berbagai hal. Seperti; Seorang matematikawan meyakini 2+2=4 tanpa harus melihat benda nyata. Kebenaran itu dianggap mutlak hanya karena logika yang menyusunnya. Seorang filsuf moral menyusun etika hanya dengan perhitungan rasional, tanpa melibatkan dasar iman atau perintah Allah. Seorang ilmuwan menolak mujizat karena tidak sesuai dengan hukum logika dan tidak bisa dibuktikan dengan sains. Semua contoh ini menunjukkan betapa rasionalisme menempatkan akal manusia di atas segalanya.

Alkitab mengajarkan bahwa akal budi adalah anugerah dari Tuhan. Kita diberi kemampuan untuk berpikir, menimbang, dan mengambil keputusan. Namun, ketika akal dijadikan sumber kebenaran tertinggi, maka kita sedang menempatkan diri kita pada posisi yang salah.

Firman Tuhan berkata: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9). Ayat ini menegaskan bahwa logika manusia terbatas.

Selain itu, Rasul Paulus menulis: “Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?” (1 Korintus 1:20). Dunia dengan segala kepandaian rasionalnya tidak mampu mengenal Allah dengan benar. Tanpa iman, akal budi hanya akan membawa kepada kesombongan intelektual.

Dalam hidup kita sehari-hari, kita sering tergoda untuk lebih mengandalkan logika daripada iman. Misalnya, kita menghitung-hitung untung rugi sebelum memberikan sesuatu atau mengerjakan sesuatu, atau kita enggan berdoa untuk meminta mujizat karena “tidak masuk akal”. Bahkan dalam mengambil keputusan hidup, kita lebih percaya pada analisa rasional semata, daripada ‘mencari’ kehendak Tuhan melalui firman Tuhan. Maaf, saya harus katakan bahwa lebih banyak orang Kristen menghabiskan waktu menonton siaran di Youtube ketimbang membaca Alkitab. Lebih tertarik mendengarkan petuah para motivator dari pada firman Tuhan. Sungguh, ini adalah fakta yang sangat menyedihkan!

Sebagai orang percaya, kita tidak dipanggil untuk meninggalkan akal budi. Tetapi akal budi harus ditundukkan di bawah firman Allah. Rasio hanyalah alat, sedangkan firman Tuhan adalah sumber kebenaran yang sejati. Roh Kuduslah yang memimpin kita kepada seluruh kebenaran, bukan semata logika manusia. Mari kita menempatkan iman sebagai landasan utama, baru kemudian maju selangkah pada akal pengetahuan. Itu mengapa saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh Augustinus dari Hippo bahwa “Iman mendahului pengetahuan”.

Rasionalisme memang mengingatkan kita pentingnya berpikir dengan logis. Namun, kebenaran sejati tidak berhenti pada logika manusia, melainkan berasal dari Allah. Firman Tuhanlah yang harus menjadi dasar hidup kita. Mari kita belajar rendah hati, tidak bersandar kepada pengertian sendiri, tetapi selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap keputusan. Dengan begitu, akal budi kita bukan menjadi penghalang iman, melainkan sarana untuk semakin mengenal kebenaran yang memerdekakan. Justru, kemampuan intelektual Kristiani adalah kemampuan intelektualis yang paling terbaik yang pernah ada di jagat raya ini. Haleluya!

Amin. Tuhan memberkati.

(Pdt. Theos M. Purba)

Posting Komentar