ZMedia Purwodadi

Renungan Kritis Terhadap Eksistensialisme

Table of Contents

 

“Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada…” KPR 17 : 28

Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat yang lahir pada abad ke-19 melalui pemikiran Soren Abbye Kierkegaard, dan semakin berkembang di abad ke-20 lewat Jean-Paul Sartre. Inti dari pandangan ini ialah bahwa manusia bebas menentukan makna hidupnya sendiri. Menurut mereka, hidup tidak memiliki arti yang sudah ditetapkan dari awal; setiap orang harus menciptakan maknanya melalui pilihan dan tanggung jawab pribadinya.

Bagi kaum eksistensialis, “eksistensi mendahului esensi,” artinya seseorang baru memiliki makna setelah ia bertindak dan memilih jalannya sendiri. Hidup manusia ditentukan oleh keputusan yang ia ambil, bukan oleh kodrat, takdir, atau rencana ilahi. Bahkan menurut Soren (Bapak Eksistensialisme), standar kebenaran adalah kesubjektifitasan.

Misalnya, seorang mahasiswa memilih jurusan kuliah bukan karena dorongan orang tua, tetapi karena ia merasa “itulah dirinya yang sejati.” Atau seseorang yang meninggalkan pekerjaan mapan demi hidup sesuai prinsip pribadinya, sebab ia ingin hidup “otentik.” Bahkan dalam penderitaan, kaum eksistensialis percaya bahwa manusia harus tetap berdiri teguh dan menciptakan makna sendiri, sekalipun hidup terasa hampa. Kalau dia menjadi seorang yang sukses, maka itu adalah hasil perjuangannya dalam memenuhi tanggung jawab akibat dari pilihan yang ia sudah buat. Begitupun sebaliknya, jika dia hidup dalam kemelaratan, itu juga karena hasil keputusannya semata.

Memang sekilas, ajaran ini tampaknya menarik karena berbicara tentang tanggung jawab dan kebebasan manusia. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, faham filsafat ini menyingkirkan Allah sebagai pusat hidup. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai penentu makna, bukan Allah. Inilah letak kesalahannya. Bahkan yang lebih menyedihkannya ialah, bahwa ternyata banyak juga orang Kristen yang terjebak dengan pemahaman seperti ini.

Alkitab mengajarkan bahwa makna hidup manusia berasal dari Penciptanya. Manusia bukan sumber kebenaran, tetapi penerima kehidupan dari Allah. Rasul Paulus menegaskan, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.” (Kis. 17:28). Tanpa Allah, manusia tidak dapat mengetahui siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Bahkan kita tahu bahwa kita diciptakan oleh Allah dengan satu tujuan, yakni “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!” Yesaya 43:7. Jelas bahwa hidup kita punya tujuan dan makna, yakni demi dan untuk kemuliaan Tuhan.

Ketika manusia mencoba menentukan makna hidup tanpa Allah, yang terjadi hanyalah kekosongan eksistensial. Sartre sendiri mengakui bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” — artinya, kebebasan tanpa arah justru membawa kecemasan dan kehampaan. Hanya ketika seseorang berakar di dalam Kristus, ia menemukan makna sejati yang kekal.

Sebagai orang percaya, kita tidak hidup untuk menciptakan makna sendiri, melainkan untuk memahami dan menjalani makna yang Allah telah tetapkan bagi kita. Tuhan Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yoh 14:6). Maka, arah dan arti hidup kita tidak perlu kita ciptakan, melainkan kita temukan dalam Kristus yang adalah sumber segala makna.

Hidup dalam iman bukan berarti kita kehilangan berekspresi untuk berkarya dan berbuat, tetapi justru menemukan ‘kebebasan sejati’ di dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Di luar Kristus, kebebasan hanyalah ilusi; namun di dalam Dia, hidup kita menjadi berarti dan berbuah kekal. Kita bebas untuk melayani Tuhan! Bukan bebas dalam berkehendak menurut keputusan pilihan kita. Bukan pula kehendak bebas kita! Sebab sesungguhnya tidak ada kehendak bebas dalam kehidupan orang percaya. Semua berada dalam ketentuan Allah yang Mahabijak dan Berdaulat mutlak.

Eksistensialisme mencoba menjawab pertanyaan tentang arti hidup, tetapi gagal menemukan jawabannya karena meninggalkan Allah. Sebab makna hidup tidak lahir dari manusia yang terbatas, melainkan dari Allah yang kekal. Kiranya kita belajar untuk tidak mencari makna di luar Kristus, melainkan hidup berakar di dalam Dia, yang menjadikan seluruh keberadaan kita bermakna dan penuh tujuan.

Amin. Tuhan memberkati.

(Pdt. Theos M. Purba)

Posting Komentar